Lead: Ketika Jabatan Tak Lagi Bisa Sembunyi dari Realitas
Krisis selalu menjadi momen kejujuran. Di tengah guncangan sistem, kegaduhan pasar, atau ketidakpastian sosial, seorang pemimpin tak lagi bisa berlindung di balik narasi. Ia dituntut bukan hanya bicara, tapi bertindak. Bukan hanya pintar strategi, tapi punya kompas nilai. Dan bukan hanya membawa sistem, tapi menjadi bagian dari sistem itu sendiri.
Di era stabil, siapa pun bisa terlihat kompeten. Tapi di era krisis, hanya dua hal yang bertahan: karakter dan sistem.
Lantas, seperti apa sebenarnya kepemimpinan yang relevan saat badai datang?
Krisis: Filter Kepemimpinan yang Tak Bisa Ditawar
Sejarah mencatat bahwa krisis selalu menjadi panggung paling brutal bagi para pemimpin. Winston Churchill tidak dikenang karena retorikanya di masa damai, tapi karena keberaniannya saat Blitz London. Jacinda Ardern dikenang bukan karena kampanye politiknya, tapi karena empatinya saat teror Christchurch dan pandemi COVID-19.
Dalam krisis, jabatan bukan lagi perisai, melainkan cermin. Pemimpin diuji bukan hanya oleh tekanan eksternal, tapi oleh internalisasi nilai dan konsistensi dalam tindakan.
Menurut laporan Harvard Business Review (2020), pemimpin yang paling efektif dalam krisis memiliki tiga fondasi:
- Keputusan berbasis nilai, bukan opini sesaat
- Keberanian untuk transparan, bahkan dalam ketidaksempurnaan
- Kemampuan menghidupkan sistem, bukan mematikan akal sehat
Kepemimpinan yang Gagal: Studi Kasus dan Konsekuensinya
🔴 Boeing dan Krisis 737 MAX
Ketika dua pesawat Boeing 737 MAX jatuh hanya dalam waktu lima bulan, dunia mempertanyakan sistem dan kepemimpinan perusahaan. Investigasi menunjukkan bahwa tekanan untuk menyaingi Airbus membuat pimpinan Boeing melonggarkan standar keselamatan dan menekan proses pengujian.
Alih-alih mengakui kelemahan sistem, manajemen puncak memilih narasi defensif. Hasilnya? Reputasi hancur, kerugian miliaran dolar, dan kepercayaan publik yang nyaris tak bisa dipulihkan.
🔴 Krisis Leadership di Indonesia: Kasus BUMN Kesehatan
Di Indonesia, salah satu BUMN sektor kesehatan menghadapi masalah tumpang tindih sistem saat pandemi. Distribusi logistik alat pelindung diri (APD) tersendat karena koordinasi antardepartemen yang buruk dan pengambilan keputusan yang lambat. Direktur utama akhirnya diganti setelah muncul desakan publik.
Di balik semua itu, krisis justru menyorot lemahnya fondasi sistem dan betapa keputusan diambil tanpa mendengar tim operasional di lapangan.
Kepemimpinan yang Bertahan: Sistem sebagai Sekutu, Bukan Musuh
Pemimpin bukan superman. Tapi pemimpin harus tahu bagaimana membangun sistem yang menopang manusia bekerja, berpikir, dan beradaptasi.
🟢 Angela Merkel selama krisis keuangan Eropa dan pandemi menunjukkan pentingnya pendekatan ilmiah dan berbasis data dalam kebijakan publik. Ia tidak tampil flamboyan, tetapi konsisten dan prediktabel. Ia merancang sistem komunikasi terbuka antara pemerintah pusat dan negara bagian, menghindari konflik internal.
🟢 Tokopedia dan Gojek selama pandemi merespons cepat dengan memodifikasi sistem operasional, membangun unit khusus krisis, dan memberi fleksibilitas kerja kepada ribuan karyawan—tanpa kehilangan arah bisnis. Hasilnya: mereka tumbuh, bahkan merger.
Kuncinya adalah: sistem yang adaptif hanya mungkin lahir dari pemimpin yang tidak merasa harus tahu segalanya, tapi cukup dewasa untuk mengandalkan tim.
Karakter: Inti Kepemimpinan yang Tak Bisa Dibelikan
Sistem bisa dirancang. Strategi bisa disewa. Tapi karakter? Harus dibentuk jauh sebelum krisis datang.
Penelitian Deloitte (2022) menunjukkan bahwa pemimpin dengan skor integritas tinggi—diukur dari konsistensi keputusan, ketahanan terhadap tekanan politik, dan keberanian menyampaikan kabar buruk—memiliki peluang dua kali lebih besar untuk mempertahankan organisasi dalam tekanan berat.
Karakter tidak selalu tentang heroisme. Seringkali justru terlihat dari:
- Kesediaan mengakui kesalahan
- Kemampuan mendengar sebelum bertindak
- Tidak membuat tim menjadi alat politik atau tameng
Kepemimpinan bukan soal citra. Di masa krisis, orang bisa membedakan mana yang pencitraan dan mana yang sungguh-sungguh memimpin.
Sistem: Refleksi dari Gaya Kepemimpinan
Dalam organisasi yang kuat, sistem tidak lahir dari satu kepala, tapi dari proses yang kolektif. Namun, kualitas sistem sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan.
Pemimpin yang:
- Mendorong partisipasi → melahirkan sistem yang responsif
- Mengontrol secara berlebihan → menghasilkan sistem birokratis yang lambat
- Takut transparansi → menciptakan sistem yang menutup-nutupi kesalahan
Studi PwC Global Crisis Survey (2023) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki struktur krisis (crisis playbook) yang jelas sebelum pandemi, pulih 2,3 kali lebih cepat dibanding perusahaan yang berimprovisasi.
Artinya, sistem bukan antitesis dari kepemimpinan. Ia adalah perpanjangan tangan dari karakter dan filosofi manajerial seorang pemimpin.
Kepemimpinan di Era Hybrid dan Kompleksitas Baru
Krisis hari ini tidak selalu datang dalam bentuk pandemi atau bencana. Krisis bisa berupa:
- Perubahan mendadak model kerja (WFH, hybrid)
- Keamanan siber
- Ekspektasi karyawan generasi baru terhadap nilai dan kebermaknaan
Pemimpin yang relevan di era ini harus:
- Fasih dalam komunikasi lintas platform
- Tidak alergi dengan data
- Punya keberanian untuk membongkar sistem lama yang tak lagi relevan
Dalam banyak kasus, krisis datang bukan karena perubahan terlalu cepat tetapi karena pemimpin yang menolak berubah.
Krisis Adalah Detektor Kepemimpinan Sejati
Di tengah badai, jabatan hanyalah gelar administratif. Yang membuat seseorang layak disebut pemimpin adalah kombinasi antara karakter yang jernih dan sistem yang hidup.
Krisis memisahkan pemimpin yang hanya menjabat dari pemimpin yang benar-benar memimpin.
Dan publik, lebih dari sebelumnya, bisa membedakannya.
📌 Untuk organisasi yang sedang mereview struktur kepemimpinan dan sistem manajerial pasca-krisis, inilah saatnya melihat ulang bukan hanya siapa yang memimpin, tetapi bagaimana ia membangun ruang untuk sistem bekerja.