You are currently viewing Bisnis Efisien, Tapi Runtuh: Salah Siapa?

Bisnis Efisien, Tapi Runtuh: Salah Siapa?

Anda mungkin sudah sering mendengar jargon ini di ruang rapat: “Kita harus lebih efisien.” Kalimat sederhana yang terdengar bijak, bahkan tak terbantahkan. Dalam iklim bisnis yang makin kompetitif, siapa yang bisa menyalahkan perusahaan yang ingin memangkas biaya, menekan overhead, atau mengejar profitabilitas yang lebih ramping?

Tapi seperti pisau tajam yang tak berhulu, efisiensi yang tidak dikendalikan dengan strategi matang bisa jadi alat bunuh diri perlahan. Terlihat menguntungkan di spreadsheet bulan ini, tapi diam-diam menyusupkan krisis di lini operasional bulan depan. Menurunkan biaya SDM, memangkas anggaran pelatihan, atau membungkam divisi yang dianggap “tidak langsung menghasilkan”—semuanya mungkin terlihat logis di laporan keuangan, tapi berisiko membunuh daya tahan organisasi itu sendiri.

Beberapa perusahaan multinasional pernah mengalami ilusi yang sama: merasa sedang menghemat, padahal sedang menggerus fondasi bisnisnya. Dan yang lebih ironis, tak sedikit yang baru sadar ketika semuanya sudah telanjur runtuh—ketika konsumen pergi, talenta terbaik undur diri, dan inovasi mandek.

Di sinilah kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: benarkah efisiensi yang sedang kita kejar itu benar-benar sehat? Atau kita sedang menyusun bom waktu secara sistematis?


Twitter/X: Ketika Hemat Biaya Justru Melemahkan Operasi

Sejak Elon Musk mengambil alih Twitter pada akhir 2022 dan mengganti namanya menjadi X, perusahaan melakukan PHK besar-besaran hingga memangkas lebih dari 70% staf globalnya, termasuk sebagian besar tim moderasi konten dan teknis. Awalnya, ini diposisikan sebagai langkah efisiensi besar untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian.

Namun, hasilnya justru menciptakan efek domino: waktu down server meningkat, iklan menurun, pengiklan besar seperti Apple dan Coca-Cola menarik diri karena isu keamanan konten, dan pengawasan regulasi meningkat. Bahkan, laporan dari The Guardian dan New York Times menyebutkan bahwa banyak fitur yang sebelumnya stabil menjadi rentan karena minimnya tenaga operasional teknis.

Efisiensi ekstrem tanpa roadmap yang jelas tak hanya menciptakan kekacauan internal, tapi juga mencoreng brand value di mata investor dan publik. Ini contoh sempurna ketika hemat biaya justru memperbesar biaya tak terlihat—kehilangan kepercayaan dan kestabilan.


Emisi Karbon: “Hemat” Bisa Membuat Rugi ke-2

Dalam analisis terhadap lebih dari 15.000 perusahaan publik, Reuters melaporkan bahwa hanya 20% yang telah menetapkan internal carbon price—harga karbon internal. Bila harga karbon global (sekitar USD 190/ton untuk sektor berat) diterapkan, biaya karbon bisa menggerus 44% bahkan hingga 90% dari laba di sektor seperti energi dan transportasi.

Perusahaan besar, termasuk Microsoft dan SwissRe, telah menerapkan mekanisme ini; Microsoft mulai sejak 2012, mengenakan biaya karbon pada unit bisnis dan menggunakan dananya untuk energi terbarukan. SwissRe menyusul dengan $100/ton, dan berencana naik ke $200 pada 2030. Ini bukan mahal, tapi wujud antisipasi risiko—langkah yang oleh kalangan bisnis disebut sebagai “efisiensi berpikiran maju.”


PHK Massal: Hemat Sekarang, Rugi Kemudian

Studi HBR dan laporan Reuters menyebutkan perusahaan seperti Telstra mengalami peningkatan efektivitas setelah restrukturisasi memakai pendekatan bertahap dan melibatkan karyawan. Bandingkan dengan Nokia (2012), Amazon, atau Citi—PHK besar-besaran memang menghemat biaya jangka pendek, tapi membawa konsekuensi:

  • Hilangnya institutional knowledge—talenta penting yang tidak tergantikan.
  • Biaya rekrutmen dan training ulang—yang bisa melebihi penghematan awal.
  • Moral karyawan tersisa menurun, produktivitas pun runtuh.

Efisiensi yang hanya melihat tabel anggaran kuartalan, tanpa mempertimbangkan dampak manusia, bisa membuat bisnis tangguh di satu lini, rapuh di lini lain.


Efisiensi Tanpa Strategi di BUMN Energi

Pada 2020–2022, sebuah BUMN energi melakukan restrukturisasi dengan memangkas ratusan posisi manajerial demi efisiensi. Namun menurut laporan dari Bisnis.com dan audit internal yang bocor ke media, proyek infrastruktur besar justru mengalami keterlambatan hingga 11 bulan akibat hilangnya fungsi koordinasi lintas divisi.

Di sisi lain, biaya konsultasi eksternal justru meningkat karena perusahaan kekurangan tenaga internal untuk merancang ulang proses kerja. Ironis: PHK untuk hemat biaya justru digantikan dengan outsourcing yang lebih mahal dan tidak efisien.


PHK Teknisi TI: Belajar dari Kasus Nyata

Satu universitas di Filipina memecat teknisi TI untuk menyederhanakan biaya. Namun, beberapa minggu setelahnya, sistem server tumbang. Perbaikan diperkirakan mencapai ₱50.000—biaya tak terduga yang membalikkan klaim efisiensi awal. Padahal, biaya perbaikan itu hampir setara dengan kontrak pemeliharaan jangka panjang—the irony.


Pangkas Pemasaran: Slow Pain yang Tersembunyi

Riset terhadap 25.000 panggilan investor antara 2008–2019 menunjukkan pola menarik: ketika perusahaan menekan anggaran pemasaran, keuntungan jangka pendek memang naik, tapi nilai merek dan saham turun secara bertahap. Ini bukan sekadar teori—ini penurunan lambat tapi pasti. Hemat biaya pemasaran berarti melepas pangsa pasar yang sangat mahal untuk dikembalikan nantinya.


Karyawan Tidak Dilibatkan: Efisiensi Minus Soft Power

Menurut Gartner, 90% organisasi memangkas biaya, tapi hanya 30% yang berhasil efektif. Mengapa?

Karena banyak PHK, pembekuan benefit, atau pemangkasan lain dilakukan tanpa proses participatory—tanpa mendengar karyawan. Dampaknya:

  • Disengagement meningkat
  • Produktivitas menurun
  • Investasi dalam peningkatan kapasitas dibatalkan

Padahal, benar-benar berhemat berarti mendengar—membuat keputusan hemat biaya bersama, bukan atas nama efisiensi yang merasa paling benar.


Biaya Karbon vs Laba per Sektor

Sektor minyak dan gas menghasilkan profit besar, namun biaya eksternal (karbon, kerusakan lingkungan, kesehatan publik) jauh melebihi laba. Sektor teknologi terlihat lebih “bersih”, namun juga menyumbang lewat rantai pasok yang kompleks.

Dalam skala global, banyak sektor yang terlihat menguntungkan justru menyimpan kerugian sistemik yang tak kasat mata. Data dari Boston Consulting Group dan Financial Times menunjukkan bahwa sektor seperti energi dan manufaktur menghasilkan laba tinggi, namun menyumbang biaya karbon yang jauh lebih besar dari yang mereka hasilkan. Maka, apakah mereka benar-benar efisien? Atau kita hanya sedang memindahkan beban dari neraca ke bumi dan masyarakat?

Saat Efisiensi Disetir Tanpa Riset

Kita semua bisa menyebut tahun terakhir punya target profit tinggi — dan cara tercepat menekan biaya adalah memangkas teknologi, outsourcing, atau personnel pendukung. Namun tanpa riset risiko, strategi ini bak pakai peta jadul: bisa sampai tujuan, atau malah tersesat.

Jika kontingen biaya ditahan terlalu singkat, gaungnya muncul dua tahun kemudian. Taskforce down, server crash, bahkan nepotisme melemah karena skill orang hilang saat dibutuhkan.


Solusinya? Cost Intelligence—Hemat dengan Kepala Dingin

a. Optimasi Vendor & Teknologi
Audit, seleksi strategis, digitalisasi — bukan memotong pekerjaan orang.

b. Terapkan Internal Carbon Pricing
Sesuai Microsoft atau SwissRe—harga karbon $50–200/ton. Tujuannya: buat risiko lingkungan menjadi bagian dari kalkulasi bisnis nyata.

c. Libatkan Karyawan
Gunakan pendekatan “core–context–cease” seperti dalam HBR. Dengan kueri: apa yang esensial, bisa didelegasi, dan layak dihilangkan—bersama tim.

d. Lindungi Investasi Jangka Panjang
Marketing dan R&D bukan beban—itu pondasi daya saing. Pangkas tanpa strategi? Risiko reputasi dan growth barangkali kalah mahal dibanding penghematan semata.

e. Ukur Biaya Tersembunyi
Hitung disengagement, turnover, downtime sebagai biaya—agar neraca benar-benar mencerminkan situasi riil.


Hemat yang Menyelamatkan, Bukan Menjerat

“Berhemat biaya” bukan sekadar slogan rapat investor. Ini tantangan kecerdasan organisasi—bagaimana membangun strategi penghematan yang menyeluruh, tidak reaktif. Namun manuver hemat bisa jadi bencana bila tidak disertai strategi matang:

  • Risk intelligence = mitigasi karbon dan biaya tak terlihat
  • Employee inclusion = moral dan kapasitas bertahan
  • Long-term vision = investasi, bukan pemangkasan mental

Sebelum rencana penghematan diumumkan, pertimbangkan: apakah ini mengokohkan bisnis, atau sekadar pemadam api jangka pendek? Hemat cerdas bukan lux—itu mutlak dibutuhkan untuk ketahanan bisnis nyata, tak hanya grafik laba semalam.


Mulai Audit, Bukan Asumsi

Apakah strategi efisiensi Anda hari ini telah memperhitungkan risiko jangka panjang?
Sudahkah suara karyawan, mitra, dan sistem terdengar dalam proses pengambilan keputusan?

💼 Jika organisasi Anda sedang berada di persimpangan antara penghematan dan pertumbuhan,
mungkin ini saat yang tepat untuk mengaudit pendekatan efisiensi Anda—bukan hanya angka, tapi juga dampaknya.

📩 Ingin diskusi lebih dalam soal strategi efisiensi berbasis empati dan risiko? Tim Nawacita membuka ruang kolaborasi profesional. Mari kita hitung bersama, apa yang layak dikorbankan—dan apa yang tidak.

Nawacita: Driving Excellence, Delivering Results

Leave a Reply