Suatu pagi di akhir 2019, kantor Jiwasraya di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, menjadi pusat perhatian nasional. Para nasabah berbondong-bondong datang, bukan untuk membeli produk asuransi, melainkan untuk menuntut jawaban. Dana mereka macet. Janji imbal hasil fantastis yang selama bertahun-tahun dikumandangkan perusahaan asuransi pelat merah itu akhirnya runtuh. Skandal Jiwasraya bukan sekadar kasus gagal bayar. Ia menjadi simbol kolapsnya manajemen risiko dan pengabaian fraud risk management di level korporasi dan negara.
Dengan nilai kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun, kasus Jiwasraya masuk dalam daftar megaskandal keuangan terbesar di Indonesia. Namun yang lebih menakutkan bukanlah angka kerugian, melainkan ironi bagaimana tanda-tanda fraud sudah lama terlihat, tetapi diabaikan.
Dari Iming-Iming “High Return” ke Bom Waktu
Produk “JS Saving Plan” yang diluncurkan Jiwasraya pada 2014 menjadi bintang. Dengan janji bunga hingga 13 persen per tahun, produk ini sukses menarik ribuan nasabah. Angka itu jauh di atas bunga deposito bank yang hanya 5–6 persen kala itu. Seperti biasa, investor retail—mulai dari pensiunan, karyawan BUMN, hingga pebisnis kelas menengah—tergiur.
Namun, seperti pepatah lama, if it’s too good to be true, it probably is. Produk dengan imbal hasil tinggi itu tak ditopang investasi sehat. Jiwasraya menaruh miliaran dana di saham gorengan dan reksa dana abal-abal. Risiko tinggi, tata kelola rendah. Itulah bom waktu yang akhirnya meledak.
Sejak awal, red flag sudah tampak: mismatch antara kewajiban jangka pendek (membayar nasabah Saving Plan) dan investasi jangka panjang berisiko tinggi. Alih-alih memperbaiki portofolio, manajemen malah memoles laporan keuangan agar tampak sehat. Inilah titik masuk fraud triangle.
Membaca Fraud Triangle Jiwasraya
Donald Cressey, kriminolog Amerika, memperkenalkan konsep Fraud Triangle: Pressure, Opportunity, Rationalization. Tiga elemen ini tampak jelas dalam kasus Jiwasraya.
- Pressure (Tekanan)
- Jiwasraya berada dalam tekanan besar: persaingan ketat industri asuransi, kebutuhan menutup kerugian lama, dan tuntutan pemerintah agar perusahaan BUMN tetap terlihat sehat.
- Tekanan keuangan mendorong direksi mencari jalan pintas: menjual produk dengan janji return tinggi, meski tak realistis.
- Opportunity (Peluang)
- Sistem kontrol internal yang lemah menciptakan celah.
- Investasi ditempatkan pada saham-saham lapis tiga tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
- Keterlibatan manajer investasi dan lemahnya otoritas pengawas memperlebar peluang fraud.
- Rationalization (Rasionalisasi)
- Pihak internal meyakinkan diri bahwa skema ini hanya sementara, bahwa perusahaan butuh “nafas” untuk pulih.
- Ada keyakinan keliru: “semua perusahaan asuransi juga pakai strategi agresif, jadi ini normal.”
Hasilnya: fraud bukan lagi kecelakaan, melainkan sistematis.
Kegagalan Risk Management
Secara teori, BUMN seperti Jiwasraya seharusnya punya Enterprise Risk Management (ERM) yang kuat. Faktanya, ada empat lapis kegagalan:
- Governance: Dewan komisaris gagal menjalankan fungsi pengawasan.
- Internal Control: Laporan keuangan dimanipulasi, namun auditor internal tidak berdaya.
- External Audit: Kantor akuntan publik sempat memberi opini wajar, padahal masalah fundamental ada di depan mata.
- Regulator: OJK terlambat bertindak. Indikasi investasi berisiko tinggi sudah muncul sejak 2006, namun intervensi signifikan baru terjadi setelah krisis meledak.
Kelemahan ini memperlihatkan fraud risk management bukan hanya soal punya SOP, melainkan memastikan SOP benar-benar bekerja.
Kronologi Singkat Jiwasraya
- 2006–2012: Masalah keuangan mulai muncul. Aset tidak sebanding dengan kewajiban.
- 2014: Diluncurkan JS Saving Plan, produk andalan dengan bunga tinggi. Penjualan meroket.
- 2015–2017: Investasi dana nasabah ke saham gorengan dan reksa dana abal-abal. Laporan keuangan dipoles.
- 2018: Auditor menolak memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Publikasi mulai mempertanyakan kesehatan Jiwasraya.
- 2019: Gagal bayar produk Saving Plan.
- 2020: Kasus masuk ranah hukum. Mantan direksi, komisaris, dan pengusaha ditetapkan tersangka.
- 2021: Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim, dan hukuman berat bagi pelaku lain.
Kenapa Fraud Risk Management Gagal di Indonesia?
Kasus Jiwasraya bukan yang pertama—dan kemungkinan bukan yang terakhir. Kita pernah punya skandal Bank Century, BLBI, Asabri, hingga kasus koperasi simpan pinjam bodong. Polanya mirip: lemahnya pengawasan, budaya organisasi permisif, dan tekanan politik.
Ada tiga pelajaran utama:
- Budaya Organisasi yang Toleran terhadap Risiko Berlebihan
Di Jiwasraya, budaya mengejar “angka bagus” lebih kuat daripada integritas. Fraud risk management mustahil berjalan jika budaya perusahaan tidak sehat. - Regulator yang Lamban
Regulasi hanya efektif jika diiringi penegakan disiplin. Dalam kasus Jiwasraya, OJK sebenarnya punya instrumen pengawasan, tetapi tidak cukup sigap. - Keterlibatan Multi-Pihak
Fraud sebesar ini tidak mungkin terjadi tanpa kolusi antara manajemen, manajer investasi, auditor, hingga pengawas. Artinya, fraud di Indonesia sering bersifat sistemik.
Membangun Proteksi, Bukan Sekadar Kepatuhan
Banyak perusahaan menganggap fraud risk management hanyalah soal kepatuhan (compliance). Mereka membuat manual tebal, membentuk komite risiko, bahkan menunjuk Chief Risk Officer. Tetapi jika mentalitasnya hanya “checklist”, hasilnya nihil.
Kasus Jiwasraya mengajarkan bahwa fraud risk management harus jadi DNA organisasi.
- Pertama, tone at the top harus jelas: direksi memberi contoh integritas, bukan sebaliknya.
- Kedua, sistem kontrol harus real-time dan berlapis. Di era digital, red flag seperti mismatch investasi bisa dideteksi lebih cepat dengan data analytics.
- Ketiga, whistleblowing system harus aman dan efektif. Banyak karyawan Jiwasraya sebenarnya sadar ada yang janggal, tapi takut bicara.
- Keempat, regulator harus proaktif, bukan reaktif.
Lebih penting lagi: fraud risk management bukan sekadar melindungi perusahaan, tapi juga melindungi trust publik. Ketika trust hilang, seperti di Jiwasraya, butuh waktu puluhan tahun untuk memulihkannya.
Jangan Ulangi Jiwasraya
Skandal Jiwasraya adalah cermin buram bagaimana fraud tumbuh ketika kontrol lemah, budaya permisif, dan pengawasan macet. Rp16,8 triliun hilang, ribuan nasabah dirugikan, reputasi BUMN tercoreng.
Pertanyaannya: apakah kita belajar?
Jika fraud risk management tidak diinternalisasi—bukan hanya formalitas—maka Jiwasraya hanyalah prolog. Kita bisa saja menyaksikan skandal serupa di sektor lain.
Fraud selalu mencari celah. Tugas kita memastikan celah itu tertutup.