Semua Punya Peta, Tapi Tidak Semua Punya Penunjuk Jalan
Dalam banyak perusahaan, transformasi sering lahir megah: target digitalisasi, jargon “agile”, dan roadmap yang rapi. Tapi di jalan panjang perubahan, tim bukan hanya butuh peta. Mereka butuh pemimpin yang tetap berjalan paling depan—menjadi penunjuk arah di tengah kabut. Sayangnya, di banyak organisasi, pemimpin hanya hadir di awal, kemudian hilang dari perjalanan. Dan di sanalah transformasi mulai gagal, bukan karena idenya lemah, tapi karena pemandunya berhenti memandu.
GE Digital – Ketika Visi Hebat Gagal Dijaga di Puncak
Tahun 2015, Jeff Immelt, CEO General Electric (GE), meluncurkan ambisi besar: menjadikan GE sebagai perusahaan industri digital nomor satu dunia. Proyek senilai $4 miliar ini berpusat pada Predix, platform IoT industri untuk menghubungkan mesin dan data real time. Visi Immelt digambarkan Forbes sebagai “upaya paling agresif membawa industri ke era digital.”
Namun empat tahun kemudian, impian itu runtuh: Predix gagal menarik pengguna luas, GE Digital merugi miliaran dolar, ribuan pegawai terkena PHK, dan akhirnya proyek dibubarkan. Apa yang salah?
Menurut analisis mendalam Harvard Business Review dan Wall Street Journal, masalah utama bukan idenya. Masalahnya: kepemimpinan di puncak gagal menjaga arah. Jeff Immelt terlalu terpusat pada narasi “menjadi digital” tanpa merumuskan langkah konkret, gagal membangun budaya kolaborasi antara divisi software dan divisi mesin tradisional, serta terlalu cepat melempar tanggung jawab eksekusi ke level bawah. Ketika terjadi gesekan budaya, ia tak cukup hadir untuk menjembatani. Transformasi pun pecah sebelum matang.
HBR menyebut ini sebagai “leadership gap”: gap antara niat besar dan keberanian hadir mendampingi tim saat proses berubah menjadi sulit dan penuh penolakan.
(Sumber: Harvard Business Review, “Why GE Digital Failed,” 2020; Wall Street Journal, “Inside GE’s Fall,” 2018)
Mengapa Pemimpin Sering Gagal Mengawal?
Transformasi di atas kertas selalu tampak sederhana. Namun dalam praktik, muncul tantangan yang menguji kepemimpinan di puncak:
- Terlalu cepat menyerahkan ke tim operasional atau vendor. Pemimpin merasa cukup memberi restu, padahal transformasi butuh pemimpin untuk memecah kebuntuan, menyatukan ego divisi, dan membuat keputusan sulit.
- Tidak berubah bersama. Pemimpin menuntut budaya baru, tetapi tetap memimpin dengan cara lama: top-down, defensif, dan reaktif.
- Fokus berlebihan pada target jangka pendek. Ketika laporan keuangan menekan, kepemimpinan sering mundur dari investasi budaya yang hasilnya tak langsung terlihat.
- Tidak konsisten hadir. Inisiatif transformasi hanya muncul di townhall awal, lalu hilang dalam rutinitas rapat.
Menurut McKinsey & Company (2021), transformasi yang dikawal aktif oleh top management punya kemungkinan sukses 2,4x lebih besar dibandingkan yang hanya dilepas sebagai “proyek tim”.
Transformasi Bukan Tentang Strategi Saja, Tapi Siapa yang Mengawal
Teknologi, roadmap, dan konsultan penting. Tapi yang menentukan adalah: siapa yang tetap memandu saat jalan berkelok? Pemimpin sejati bukan hanya merancang peta, tapi juga turun ke jalan, menjawab pertanyaan sulit, dan memberi contoh keberanian berubah.
Tanpa itu, transformasi hanyalah pamer jargon: “digital”, “agile”, atau “disruptive”—yang tak pernah benar-benar mengubah apa pun.
Di Ujung Semua Strategi, Ada Pemimpin yang Memutuskan Berjalan di Depan
GE punya teknologi, dana, dan orang-orang pintar. Tapi perubahan gagal, karena yang ada di puncak terlalu cepat merasa cukup hanya dengan visi.
Transformasi bukan soal punya ide hebat, melainkan soal siapa yang cukup berani memandu, meski langkahnya lambat, meski banyak yang menolak, dan meski harus berubah lebih dulu.
📌 Leadership sejati bukan hanya soal menciptakan arah, tapi berani berjalan paling depan saat jalan berubah menjadi terjal.