You are currently viewing Ketika Manajemen Lebih Takut Konflik Daripada Kecurangan

Ketika Manajemen Lebih Takut Konflik Daripada Kecurangan

Fraud di tempat kerja jarang muncul secara mendadak. Ia tumbuh perlahan, memanfaatkan celah dalam sistem yang longgar dan budaya organisasi yang permisif. Ironisnya, pelaku kecurangan bukanlah orang asing. Mereka justru adalah sosok yang dikenal, dipercaya, bahkan telah lama berada dalam sistem.

Lalu, mengapa fraud bisa bertahan begitu lama tanpa terdeteksi?


Kita Tahu, Tapi Takut Bicara

Dalam banyak kasus, orang-orang di sekitar sebenarnya tahu. Mereka menyadari ada keanehan dalam proses, pengambilan keputusan, atau pengeluaran tertentu. Tapi memilih diam.

Alasannya macam-macam:

  • Takut dianggap tidak loyal.
  • Takut kena getahnya.
  • Takut “mengusik kenyamanan” yang sudah jadi norma.

Ketika budaya organisasi tidak mendukung keberanian untuk bicara, fraud pun tumbuh dalam senyap.


STUDI KASUS: Jiwasraya dan Luka Sistemik yang Terabaikan

Salah satu contoh paling mencolok datang dari kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Apa yang terjadi?
Perusahaan pelat merah ini sempat tampil prima di atas kertas—menunjukkan laba, membagikan dividen, dan tampak sehat secara keuangan. Tapi di balik semua itu, manajemen terlibat dalam:

  • Manipulasi laporan keuangan,
  • Investasi pada saham gorengan yang tidak sehat,
  • Pengelolaan dana nasabah yang tidak bertanggung jawab.

Total kerugian? Diperkirakan mencapai Rp16,8 triliun, berdampak langsung pada ratusan ribu nasabah.

Yang mengejutkan:
Fraud ini tidak terjadi dalam hitungan bulan. Ia berlangsung selama bertahun-tahun, melewati berbagai lapisan audit internal, pengawasan eksternal, hingga laporan publik. Tapi tetap saja, tidak ada peringatan yang benar-benar terdengar.

Mengapa?

Banyak yang “sudah tahu”, tapi tidak cukup kuat—secara struktur maupun budaya—untuk menggugat sistem yang sedang berjalan.

Fraud sistemik sering kali tidak membutuhkan konspirasi besar. Ia hanya membutuhkan organisasi yang memilih untuk tidak melihat.


Audit Bukan Peluru Perak

Audit adalah pilar penting dalam pengendalian internal. Tapi jika hanya dilakukan untuk memenuhi kewajiban atau formalitas, maka ia menjadi alat kosmetik, bukan pelindung nilai.

Audit internal umumnya tidak dirancang untuk menangkap fraud yang disembunyikan dengan cermat, apalagi jika dilakukan oleh pihak yang terlalu dekat dengan proses yang diaudit.

Solusinya?
Pendekatan yang lebih dalam dan objektif:

  • Penilaian risiko fraud yang mempertimbangkan budaya organisasi,
  • Pemetaan titik rawan manipulasi data dan proses,
  • Evaluasi kontrol internal secara independen oleh pihak eksternal.

Bicara Bukan Ancaman, Tapi Investasi

Organisasi yang ingin bertahan dalam jangka panjang perlu membangun sistem pelaporan yang bukan hanya “ada”, tapi dipercaya. Whistleblowing system bukan simbol integritas, tapi alat nyata untuk mengaktifkan deteksi dini.

ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) mencatat bahwa lebih dari 42% kasus fraud terungkap lewat laporan internal—bukan audit, bukan polisi, bukan regulator.

Namun, itu hanya terjadi jika:

✅ Laporan bisa diajukan secara anonim dan aman.
✅ Proses ditangani oleh pihak independen.
✅ Budaya perusahaan tidak membunuh pelapor dengan stigma.


Kapan Harus Bertindak?

Waktu terbaik untuk membangun sistem antisipatif bukan saat fraud terbongkar, melainkan saat belum ada yang terjadi. Justru saat semuanya terlihat “baik-baik saja” adalah saat terbaik untuk menguji apakah sistem kita benar-benar bekerja.

Kasus seperti Jiwasraya bukan hanya tentang uang yang hilang, tapi tentang kepercayaan yang runtuh. Dan kepercayaan adalah mata uang paling mahal dalam bisnis.

Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan bukan hanya laporan laba rugi—tapi karakter organisasi saat diuji oleh krisis.

Leave a Reply